Tanggal 23 Juli di negara kita, dikenal dengan Hari Anak Nasional (HAN). Setiap tahun, bangsa ini memperingati HAN, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan kota melakukan seremonial acara HAN.
Luapan kegembiraan terlihat dari rentetan acara tersebut yang dihadiri oleh kebanyakan anak-anak sekolah dan beberapa anak jalanan yang sengaja didatangkan agar terlihat kemerataan dalam kesenjangan sosial. Bagi sebagian kalangan anak-anak Indonesia, HAN merupakan sebuah acara yang teramat istimewa. Berbagai kreasi pentas seni ditampilkan oleh anak-anak tersebut. Bagus memang untuk mengasah kreativitas anak-anak kita. Namun, keistimewaan HAN tersebut tidak dirasakan oleh anak marjinal (anak putus sekolah dan anak jalanan).
Meski HAN terus dilaksanakan tiap tahun dan dinikmati secara langsung, khususnya mereka (anak sekolah, red) yang berkesempatan langsung hadir diberbagai acara serimonial, ternyata bagi anak jalanan bukanlah sesuatu istimewa. Bagi mereka, meski dilaksanakan setiap hari, tidak akan mengubah nasibnya sebagai anak jalanan. Kehidupan keras di jalan, ditambah situasi anak itu sendiri di mana mereka harus bertahan hidup, memaksa anak-anak ini menjadi dewasa sebelum waktunya.
Apabila anak-anak sebaya mereka masih bermain-main dan dirawat oleh orang dewasa, maka anak-anak jalanan ini sudah harus menghidupi diri sendiri dan mempertahankan hidup. Angka anak-anak putus sekolah pun semakin meningkat. Kekerasan dan pelecehan terhadap anak juga masih kerap terjadi. Hak-hak mereka kerap tidak diakui dan dilanggar. Padahal anak-anak memiliki hak yang sama sehingga dapat menjadi dasar perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. Melihat kondisi real seperti ini, lantas apa makna sebenarnya yang terkandung dalam HAN yang setiap tahun kita peringati?? Sudahkah ada perubahan dengan adanya HAN??
Bagi pemerintah, HAN memilki arti strategis dan momentum untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh bangsa Indonesia dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, serta menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Tapi, hal ini hanya termaktub dalam konsep program pemerintah yang sangat tersusun rapi dalam undang-undang. Kebanyakan, kepedulian terhadap anak-anak marjinal alias madesu (masa depan suram) lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga nonpemerintah/profesional seperti Dompet dhu’afa, Rumah zakat, Swadaya ummah, FIM (Forum Indonesia Muda) yang murni social oriented. Bahkan, dunia kampus juga ikut peduli demi hak anak negeri ini. Berbagai penanganan yang telah dilakukan demi memenuhi hak anak-anak, seperti sekolah gratis bagi anak kurang mampu dan jalanan, rumbel (rumah belajar), dll.
Penanganan terhadap anak-anak jalanan ini harus bersifat terpadu, tidak hanya melibatkan anak itu sendiri, tapi juga keluarga (kalau masih ada), dan masyarakat (termasuk lembaga pemerintah dan negara). Banyak masyarakat yang bersikap apriori terhadap anak-anak jalanan. Mereka mengganggap anak-anak itu sebagai sumber gangguan dan kegaduhan, yang perlu disingkirkan jauh-jauh dari mereka. Semakin banyaknya jumlah anak jalanan dan anak putus sekolah juga menunjukkan bukan hanya kegagalan keluarga dan masyarakat tapi juga kegagalan bangsa ini.
Harapan kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang, berada di tangan anak-anak sekarang. Oleh karena itu sudah saatnya kita memulai menciptakan perubahan untuk memenuhi hak-hak anak negeri ini.
Selamat hari anak nasional!
Luapan kegembiraan terlihat dari rentetan acara tersebut yang dihadiri oleh kebanyakan anak-anak sekolah dan beberapa anak jalanan yang sengaja didatangkan agar terlihat kemerataan dalam kesenjangan sosial. Bagi sebagian kalangan anak-anak Indonesia, HAN merupakan sebuah acara yang teramat istimewa. Berbagai kreasi pentas seni ditampilkan oleh anak-anak tersebut. Bagus memang untuk mengasah kreativitas anak-anak kita. Namun, keistimewaan HAN tersebut tidak dirasakan oleh anak marjinal (anak putus sekolah dan anak jalanan).
Meski HAN terus dilaksanakan tiap tahun dan dinikmati secara langsung, khususnya mereka (anak sekolah, red) yang berkesempatan langsung hadir diberbagai acara serimonial, ternyata bagi anak jalanan bukanlah sesuatu istimewa. Bagi mereka, meski dilaksanakan setiap hari, tidak akan mengubah nasibnya sebagai anak jalanan. Kehidupan keras di jalan, ditambah situasi anak itu sendiri di mana mereka harus bertahan hidup, memaksa anak-anak ini menjadi dewasa sebelum waktunya.
Apabila anak-anak sebaya mereka masih bermain-main dan dirawat oleh orang dewasa, maka anak-anak jalanan ini sudah harus menghidupi diri sendiri dan mempertahankan hidup. Angka anak-anak putus sekolah pun semakin meningkat. Kekerasan dan pelecehan terhadap anak juga masih kerap terjadi. Hak-hak mereka kerap tidak diakui dan dilanggar. Padahal anak-anak memiliki hak yang sama sehingga dapat menjadi dasar perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. Melihat kondisi real seperti ini, lantas apa makna sebenarnya yang terkandung dalam HAN yang setiap tahun kita peringati?? Sudahkah ada perubahan dengan adanya HAN??
Bagi pemerintah, HAN memilki arti strategis dan momentum untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh bangsa Indonesia dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, serta menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Tapi, hal ini hanya termaktub dalam konsep program pemerintah yang sangat tersusun rapi dalam undang-undang. Kebanyakan, kepedulian terhadap anak-anak marjinal alias madesu (masa depan suram) lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga nonpemerintah/profesional seperti Dompet dhu’afa, Rumah zakat, Swadaya ummah, FIM (Forum Indonesia Muda) yang murni social oriented. Bahkan, dunia kampus juga ikut peduli demi hak anak negeri ini. Berbagai penanganan yang telah dilakukan demi memenuhi hak anak-anak, seperti sekolah gratis bagi anak kurang mampu dan jalanan, rumbel (rumah belajar), dll.
Penanganan terhadap anak-anak jalanan ini harus bersifat terpadu, tidak hanya melibatkan anak itu sendiri, tapi juga keluarga (kalau masih ada), dan masyarakat (termasuk lembaga pemerintah dan negara). Banyak masyarakat yang bersikap apriori terhadap anak-anak jalanan. Mereka mengganggap anak-anak itu sebagai sumber gangguan dan kegaduhan, yang perlu disingkirkan jauh-jauh dari mereka. Semakin banyaknya jumlah anak jalanan dan anak putus sekolah juga menunjukkan bukan hanya kegagalan keluarga dan masyarakat tapi juga kegagalan bangsa ini.
Harapan kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang, berada di tangan anak-anak sekarang. Oleh karena itu sudah saatnya kita memulai menciptakan perubahan untuk memenuhi hak-hak anak negeri ini.
Selamat hari anak nasional!
0 komentar:
Posting Komentar