“Kami dari
BEM mengadakan bazar duduk bekerjasama dengan warung Pencar. Masing-masing
mahasiswa membeli satu kupon ini seharga 35 ribu rupiah. Perlu diketahui bahwa
kupon bazar ini telah mendapat persetujuan atau rekomendasi dari Wakil Rektor
II Universitas Hindu Indonesia.”
Begitulah kata-kata
dari salah satu anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hindu Indonesia
(UNHI) di kelas. Mereka (anggota BEM) hendak menyebarkan kupon bazar kepada
para mahasiswa. Dengan berbekal surat rekomendasi dari Rektorat, para anggota
BEM memasuki tiap kelas mahasiswa. Menawarkan dan “menjajakan” kupon bazar
kepada mahasiswa, harapannya tentu mahasiswa mau membeli kupon bazar tersebut.
Memang tidak ada kata “wajib” membeli
yang mereka utarakan, namun pernyataan mereka yang menekankan bahwa bazar ini
telah mendapatkan surat rekomendasi dari Rektorat seakan-akan ingin menekan
mahasiswa untuk membeli kupon mereka. Mahasiswa diberikan waktu beberapa hari
untuk membeli kupon tersebut dengan harga 35.000 rupiah.
Berbagai
reaksi dan pertanyaan muncul di benak mahasiswa. Mengapa BEM membuat bazzar? Mungkin saja BEM
membuat acara bazar ini untuk penggalangan dana. Tapi kenapa harus mahasiswa
yang menjadi “target sasaran” untuk penggalian dana? Lagi-lagi mahasiswa diberatkan akan benda bernama
uang tersebut. Tentu saja ini tidak akan menjadi masalah bagi mahasiswa yang
berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Namun, bagaimana dengan
mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah?
Rasanya tanpa kupon bazar itu saja, mereka
sudah susah untuk mencari uang. Belum lagi anak kos yang berusaha hidup dengan
hemat. Kupon bazar ini dirasa akan menambah beban mereka dan bahkan mungkin
uang tersebut cukup untuk makan mereka beberapa hari tinggal di kos.
Belum lagi mahasiswa baru yang notabene
belum tahu apa-apa masalah kampus. Mereka akan dengan mudah menerima apa saja
yang disodorkan kepada mereka tanpa berani untuk menolak. Padahal mahasiswa
baru jika dihitung-hitung telah banyak mengeluarkan uang dari awal mereka
kuliah di UNHI. Mulai dari uang awal kuliah, uang baju dan kalender untuk fakultas
ekonomi, uang bazzar, uang seminar, dan lain-lain. begitu mahalnya biaya
pendidikan perguruan tinggi semakin membenarkan pendapat bahwa “orang miskin
dilarang untuk sekolah”.
Jika BEM melaksanakan bazzar ini dengan alasan
mencari dana untuk kegiatan operasionalnya. Itu sah-sah saja. Tapi hendaknya
bukan membebankan pada mahasiswa. “Mahasiswa bukan sapi perah” yang bisa
seenaknya diperah dan diambil susunya.
Ada baiknya jika ingin meminta dana untuk
operasional harusnya mereka minta kepada “orang tua” di kampus. Ya orang tua
yang dimaksud adalah rektorat. Tidak diberikan. Tenang kawan-kawan itu semua
sudah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi. Mari bersama kita perjuangkan dana kemahasiswaan itu.
Dalam Kepmen tersebut pada Bab V tentang
Pembiayaan, Pasal 10 ayat 1 menyatakan pembiayaan untuk kegiatan organisasi
kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada anggaran perguruan tinggi
yang bersangkutan dan/ atau usaha lain seijin pimpinan perguruan tinggi dan
dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dari sana sudah jelas dituliskan, jika organisasi
mahasiswa ingin melakukan kegiatan hendaknya mencari dana kepada rektorat. Disana
juga sudah dijelaskan bahwa dana kemahasiswaan sudah seharusnya dianggarkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Atau misalnya dana tersebut kurang
atau tidak mencukupi, cara lain yang bisa ditempuh adalah mencari dana dari
sponsor. Bukankah dalam kepmen tersebut juga dibolehkan untuk mencari dana di
luar kampus melalui usaha lain. Intinya dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BEM tak ubahnya seperti pemerintah yang
memberikan “kado” (kenaikkan harga elpiji 12kg) kepada masyarakat. Begitu juga
BEM memberikan “kado tahun baru” berupa bazar kepada mahasiswa. Terakhir, bukan
bermaksud menggurui atau memerintah. Ada baiknya untuk kita coba merenung dan
berpikir. Tingkat ekonomi mahasiswa di kampus tidak semua sama. Untuk mereka
yang menengah ke atas mungkin tidak masalah tapi bagaimana dengan teman-teman
yang ekonominya menengah ke bawah. Ingat dan patut di catat mereka juga kawan
kita mahasiswa. Syukur mereka (bisa) kuliah, sekarang malah dibebankan ini itu.
coba bayangkan, Bagaimana kalau kalian (anggota BEM) berada pada posisi
mahasiswa itu.
0 komentar:
Posting Komentar