Mukernas PPMI ke IX berakhir, untuk sementara kebersamaan semua anggota PPMI berakhir. Ada yang langsung
pulang, ada yang jalan-jalan, ada juga yang masih menetap beberapa hari lagi di
Surabaya. Saya
sendiri berniat akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.
Bersama teman-teman PPMI DK Banjarmasin dan PPMI DK Yogyakarta saya diantar
sebuah mobil avanza silver dan sebuah angkot jurusan terminal. Pukul 17.00 kami
sudah meninggalkan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk segera menuju
terminal Bungur Asih.
Untuk menuju Yogyakarta sebenarnya ada banyak pilihan transportasi
yang bisa ditempuh. Pertama adalah dengan menggunakan kereta api dari stasiun
KA di Wonokromo. Kedua dengan menggunakan Bus dari terminal Bungur Asih, dan
yang ketiga yakni lewat jalur udara atau menggunakan pesawat. Kami memilih
pilihan kedua yakni menggunakan Bus karena harganya relatif terjangkau sesuai
dengan kantong mahasiswa. Harga tiket bus dari Surabaya-Yogyakarta waktu itu
Rp. 35.000. Perjalanan ditempuh selama 8 jam dan hanya saya habiskan untuk
berbincang dan tidur selama perjalanan. Pukul 01.30 keesokan harinya kami sudah
tiba di terminal Jogja. Malam itu kami beristirahat di sekretariat Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), sementara kawan-kawan
yang wanita menginap di kos-kosan teman yang lain.
Matahari bersinar dengan
cerah di langit kota
Jogja pagi itu, 24 september 2012. setelah mandi dan bersiap-siap sepiring gado-gado dan es jeruk
manis menjadi menu sarapan pagi itu. Cukup lama menunggu kawan-kawan PPMI DK Banjarmasin yang lain,
akhirnya mereka datang kira-kira pukul 11.00. Kami berangkat 7 orang, ditemani
2 tour guide ”dadakan” yakni kawan Randi dan Rohmadi. Banyak hal yang ingin
kami lakukan di Jogjakarta
seharian ini, kami ingin memanjakan diri dengan mengunjungi Candi Prambanan,
berjalan-jalan di Malioboro, Alun-alun Jogja, juga menikmati suasana
Angkringan. Hal ini karena saya dan beberapa teman yang lain memang baru
pertama kali ke Jogjakarta.
Acara jalan-jalan keliling Jogja kami mulai dengan mengunjungi Candi Prambanan.
Perjalanan kami tempuh kurang
lebih 30 menit dari kampus UAD menuju Candi Prambanan. Setelah membayar tiket
masuk seharga Rp. 30.000 dan diberikan kain untuk digunakan selama berkeliling
candi, kami semua masuk ke areal Candi. Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang ini adalah
kompleks candi
Hindu
terbesar di Indonesia
yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti,
tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai
dewa pemelihara, dan Siwa
sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti
Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'),
dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa
Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih
diutamakan
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi
Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia
Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan
arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki
ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi
yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi
Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia
Saya sangat takjub melihat
pemandangan yang ada di depan mata, jejeran candi beserta reruntuhannya sungguh
mengesankan. Hal ini tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan diri disana,
terlebih saya yang baru pertama kali ke Jogjakarta.
Cukup lama kami habiskan waktu menikmati indahnya Candi Prambanan, hingga
akhirnya kami beralih ke museum yang berada disebelah areal candi. Sempat
berbelanja pernak-pernik untuk oleh-oleh sebentar, kemudian beristirahat
sejenak di areal parkir sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya
(Malioboro).
Jalan Malioboro
adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota
Yogyakarta yang membentang dari Tugu
Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara
keseluruhan terdiri dari Jalan
Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan
ini merupakan poros Garis
Imajiner Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa obyek bersejarah di
kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu
Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung,
Pasar Beringharjo, Benteng
Vredeburg dan Monumen Serangan
Oemoem 1 Maret
Jalan Malioboro sangat
terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan
khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg khas jogja serta
terkenal sebagai tempat berkumpulnya para Seniman-seniman
yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis,
hapening art, pantomim dan
lain-lain disepanjang jalan ini.
Di
Malioboro hal yang paling pertama kami lakukan adalah mencicipi kuliner khas
Jogja, apalagi kalau bukan Gudeg. Gudeg (dalam bahasa Jawa
gudheg) adalah makanan khas Yogyakarta
dan Jawa Tengah
yang terbuat dari nangka
muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini.
Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak
bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung,
telur,
tahu dan sambal goreng krecek. Ada berbagai varian gudeg, antara lain Gudeg kering, yaitu
gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada
santan pada masakan padang,
Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer, Gudeg Solo,
yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih. Untuk masalah harga tidak usah
khawatir, satu porsi gudeg ditambah es teh manis hanya Rp. 8.000 saja, murah
bukan.
Setelah
memuaskan lidah dengan cita rasa gudeg, kami melanjutkan acara jalan-jalan
dengan jalan-jalan di Malioboro. Karena jalan Malioboro begitu luas dan
panjang, kami berpencar untuk membeli oleh-oleh khas jogja yang ditawarkan di
sepanjang jalan. Kebetulan saat itu kondisi keuangan sedang tidak sehat, tapi
hasrat belanja saya kurang bersahabat. Tapi ternyata tidak seperti apa yang
saya bayangkan, barang-barang yang ditawarkan disini harganya cukup terjangkau,
dan jangan lupa keahlian menawar sangat dibutuhkan disini
Setelah lama berkeliling, akhirnya saya menemukan pedagang yang “pas” dengan saya, pas dengan kantong saya begitu juga pas dengan ukuran badan saya. Memang sedikit sulit mencari size (ukuran) pakaian untuk saya yang meiliki badan ala bule ini. Dua buah kaos dengan gambar Pelengkung Gading dan Sepeda onthel menjadi pilihan saya, ditambah dua kaos bertuliskan Jogja untuk oleh-oleh ibu dan adik di Bali. Harga untuk size big alias jumbo 50.000/pcs, sedangkan yang biasa 30.000-35.000/pcs, tapi setelah dibantu tawar menawar dengan bahasa jawa oleh kawan Randi akhirnya dua kaos size jumbo itu saya bayar dengan harga 75.000, sedangkan untuk dua kaos Jogjanya saya bayar 50.000. Lumayan murah dibandingkan dengan harga barang di tempat asal saya Bali.
Tanpa
terasa hari mulai gelap, hiruk pikuk di Malioboro membuat saya dan teman-teman
lupa waktu. Namun bukannya sepi, Malioboro malah tambah ramai di malam hari,
sungguh mengesankan. Belum puas mengunjungi Candi Prambanan dan jalan-jalan di
malioboro, kami bergegas menuju Alun-alun Jogjakarta.
Alun-Alun Kidul merupakan wilayah di belakang kompleks bangunan Kraton Yogyakarta yang bisa dijangkau dengan berjalan ke arah
selatan dari Sentra Makanan Khas Gudeg Wijilan. Disimbolkan dengan gajah yang
memiliki watak tenang, Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara
yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman
(istirahat) para Dewa. Dan jelas kini sudah menjadi tempat ngleremke ati
(menenangkan hati) bagi banyak orang.
Di
Alun-alun ini kami mencoba atraksi yang dinamai Masangin, yaitu melewati jalan
antara dua beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata ditutup kain
hitam. Konon, jika orang mampu melewatinya dan tak serong atau menabrak maka
permintaannya akan terkabul dan ia akan mendapat berkah tak terhingga. Tapi,
jangan mencoba untuk mengintip, sebab jika dilakukan anda akan masuk ke dunia
lain. Anda akan mendapati alun-alun dalam keadaan sepi dan sulit untuk kembali
ke alam nyata lagi.Untuk mencobanya, anda cukup menyewa kain hitam seharga Rp
3.000,00. Kebetulan saat itu kami membawa kain hitam, jadi tidak perlu menyewa
, bisa berhemat.
Satu
persatu kami mencoba Masangin, alih-alih bisa melewati jalan diantara dua
beringin, berjalan lurus saja tidak bisa. Sebagian dari kami ada yang berbelok
arah, ada yang serong, bahkan saya menabrak orang yang juga melakukan Masangin
ini. Dua percobaan saya gagal, akhirnya pada percobaan ketiga saya bisa
melewatinya. Semoga memang benar apa yang dikatakan orang-orang, jika bisa
melewatinya akan mendapatkan berkah. Astungkara.
Setelah
semua mencoba Masangin, kami mencoba menaiki suatu mode transportasi yang di
sewakan berupa sepeda atau becak yang sudah di modifikasi sedemikian rupa untuk
bisa dinaiki 4-6 orang.Lebih menarik lagi alat tarnsportasi ini seluruh bodynya
di hiasi dengan lampu selang beraneka ragam. Mungkin tujuannya untuk semakin
menarik para pengunjung. Alat transportasi ini di pakai untuk
mengelilingi alun-alun selatan. Kami membayar 50.000 untuk tiga kali putaran.
Cukup murah untuk berlima atau berenam.
Dengan
sisa energi yang tersisa, berpacu dengan malam yang semakin larut dan dipenuhi
bintang-bintang. Kami ingin kembali memuaskan lidah kita dengan kuliner khas
jogja lainnya. Malam itu kami berkumpul di angkringan di depan kantor media
cetak Kedaulatan Rakyat (KR) ditemani Sekjen PPMI DK Jogjakarta Agus ”Jarwo”
Susanto bersama kawan-kawan PPMI DK Jogjakarta lainnya.
Di
angkringan kita bisa bebas memilih tempat duduk di tempat yang disediakan. Jika
ingin berbincang dengan pedagang, anda bisa duduk di dekat bakul atau anglo.
Selain dapat bercerita dengan pedagang, juga akan mempermudah jika ingin tambah
makanan dan minuman. Tetapi bila ingin lebih berakraban dengan teman, kita bisa
duduk di tikar yang digelar memanjang di trotoar seberang jalan. Tak perlu khawatir
tidak cukup, sebab panjang trotoar yang digelari tikar hampir 100 meter.
Disana
kami menikmati hidangan malam khas Jogjakarta,
nasi kucing. Nasi kucing (atau dalam bahasa Jawa
dikenal dengan "segÄ kucing") bukanlah suatu menu tertentu tetapi
lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada warung angkringan.
Dinamakan "nasi kucing" karena disajikan dalam porsi yang (sangat)
sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Nasi kucing adalah sebentuk nasi rames,
dengan menu bermacam-macam: tempe kering, teri goreng, sambal goreng,
babat,
bandeng,
usus, kepala atau cakar ayam serta sate telur puyuh. Harga
satu bungkus nasi kucing sangat murah yakni Rp. 1.500, hal ini yang membuat
nasi kucing sangat populer di kalangan mahasiswa
Ada satu lagi yang unik, kopi joss. Kopi Joss adalah kopi tubruk panas yang diberi arang membara.
Begitu dimasukin arang maka kopi akan mengeluarkan suara josss yang kencang
sehingga terciptalah nama kopi Joss itu. Minuman ini bisa ditemukan di semua
angkringan-angkringan sudut kota
Jogja. Malam itu saya habiskan malam dengan penuh suka cita bersama
kawan-kawan, ditemani alunan gitar dan suara merdu dari musisi jalanan yang
beraksi. Tempat wisata, adat budaya dan masyarakat Jogja sungguh istimewa,
suatu saat nanti, saya (pasti) akan kembali kesini. (Gun)
0 komentar:
Posting Komentar