Selasa, 07 Januari 2014

Mahasiswa (Bukan) Sapi Perah



“Kami dari BEM mengadakan bazar duduk bekerjasama dengan warung Pencar. Masing-masing mahasiswa membeli satu kupon ini seharga 35 ribu rupiah. Perlu diketahui bahwa kupon bazar ini telah mendapat persetujuan atau rekomendasi dari Wakil Rektor II Universitas Hindu Indonesia.”

Begitulah kata-kata dari salah satu anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hindu Indonesia (UNHI) di kelas. Mereka (anggota BEM) hendak menyebarkan kupon bazar kepada para mahasiswa. Dengan berbekal surat rekomendasi dari Rektorat, para anggota BEM memasuki tiap kelas mahasiswa. Menawarkan dan “menjajakan” kupon bazar kepada mahasiswa, harapannya tentu mahasiswa mau membeli kupon bazar tersebut.

Memang tidak ada kata “wajib” membeli yang mereka utarakan, namun pernyataan mereka yang menekankan bahwa bazar ini telah mendapatkan surat rekomendasi dari Rektorat seakan-akan ingin menekan mahasiswa untuk membeli kupon mereka. Mahasiswa diberikan waktu beberapa hari untuk membeli kupon tersebut dengan harga 35.000 rupiah.

Berbagai reaksi dan pertanyaan muncul di benak mahasiswa. Mengapa BEM membuat bazzar? Mungkin saja BEM membuat acara bazar ini untuk penggalangan dana. Tapi kenapa harus mahasiswa yang menjadi “target sasaran” untuk penggalian dana? Lagi-lagi mahasiswa diberatkan akan benda bernama uang tersebut. Tentu saja ini tidak akan menjadi masalah bagi mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Namun, bagaimana dengan mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah?

Rasanya tanpa kupon bazar itu saja, mereka sudah susah untuk mencari uang. Belum lagi anak kos yang berusaha hidup dengan hemat. Kupon bazar ini dirasa akan menambah beban mereka dan bahkan mungkin uang tersebut cukup untuk makan mereka beberapa hari tinggal di kos.

Belum lagi mahasiswa baru yang notabene belum tahu apa-apa masalah kampus. Mereka akan dengan mudah menerima apa saja yang disodorkan kepada mereka tanpa berani untuk menolak. Padahal mahasiswa baru jika dihitung-hitung telah banyak mengeluarkan uang dari awal mereka kuliah di UNHI. Mulai dari uang awal kuliah, uang baju dan kalender untuk fakultas ekonomi, uang bazzar, uang seminar, dan lain-lain. begitu mahalnya biaya pendidikan perguruan tinggi semakin membenarkan pendapat bahwa “orang miskin dilarang untuk sekolah”.

Jika BEM melaksanakan bazzar ini dengan alasan mencari dana untuk kegiatan operasionalnya. Itu sah-sah saja. Tapi hendaknya bukan membebankan pada mahasiswa. “Mahasiswa bukan sapi perah” yang bisa seenaknya diperah dan diambil susunya.

Ada baiknya jika ingin meminta dana untuk operasional harusnya mereka minta kepada “orang tua” di kampus. Ya orang tua yang dimaksud adalah rektorat. Tidak diberikan. Tenang kawan-kawan itu semua sudah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Mari bersama kita perjuangkan dana kemahasiswaan itu.

Dalam Kepmen tersebut pada Bab V tentang Pembiayaan, Pasal 10 ayat 1 menyatakan pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada anggaran perguruan tinggi yang bersangkutan dan/ atau usaha lain seijin pimpinan perguruan tinggi dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Dari sana sudah jelas dituliskan, jika organisasi mahasiswa ingin melakukan kegiatan hendaknya mencari dana kepada rektorat. Disana juga sudah dijelaskan bahwa dana kemahasiswaan sudah seharusnya dianggarkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Atau misalnya dana tersebut kurang atau tidak mencukupi, cara lain yang bisa ditempuh adalah mencari dana dari sponsor. Bukankah dalam kepmen tersebut juga dibolehkan untuk mencari dana di luar kampus melalui usaha lain. Intinya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.



BEM tak ubahnya seperti pemerintah yang memberikan “kado” (kenaikkan harga elpiji 12kg) kepada masyarakat. Begitu juga BEM memberikan “kado tahun baru” berupa bazar kepada mahasiswa. Terakhir, bukan bermaksud menggurui atau memerintah. Ada baiknya untuk kita coba merenung dan berpikir. Tingkat ekonomi mahasiswa di kampus tidak semua sama. Untuk mereka yang menengah ke atas mungkin tidak masalah tapi bagaimana dengan teman-teman yang ekonominya menengah ke bawah. Ingat dan patut di catat mereka juga kawan kita mahasiswa. Syukur mereka (bisa) kuliah, sekarang malah dibebankan ini itu. coba bayangkan, Bagaimana kalau kalian (anggota BEM) berada pada posisi mahasiswa itu. 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting