Jumat, 04 Januari 2013

Jogja sungguh Istimewa (Catatan Perjalanan)

Mukernas PPMI ke IX berakhir, untuk sementara kebersamaan semua anggota PPMI berakhir. Ada yang langsung pulang, ada yang jalan-jalan, ada juga yang masih menetap beberapa hari lagi di Surabaya. Saya sendiri berniat akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Bersama teman-teman PPMI DK Banjarmasin dan PPMI DK Yogyakarta saya diantar sebuah mobil avanza silver dan sebuah angkot jurusan terminal. Pukul 17.00 kami sudah meninggalkan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk segera menuju terminal Bungur Asih.

Untuk menuju Yogyakarta sebenarnya ada banyak pilihan transportasi yang bisa ditempuh. Pertama adalah dengan menggunakan kereta api dari stasiun KA di Wonokromo. Kedua dengan menggunakan Bus dari terminal Bungur Asih, dan yang ketiga yakni lewat jalur udara atau menggunakan pesawat. Kami memilih pilihan kedua yakni menggunakan Bus karena harganya relatif terjangkau sesuai dengan kantong mahasiswa. Harga tiket bus dari Surabaya-Yogyakarta waktu itu Rp. 35.000. Perjalanan ditempuh selama 8 jam dan hanya saya habiskan untuk berbincang dan tidur selama perjalanan. Pukul 01.30 keesokan harinya kami sudah tiba di terminal Jogja. Malam itu kami beristirahat di sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), sementara kawan-kawan yang wanita menginap di kos-kosan teman yang lain.

Matahari bersinar dengan cerah di langit kota Jogja pagi itu, 24 september 2012. setelah mandi dan bersiap-siap sepiring gado-gado dan es jeruk manis menjadi menu sarapan pagi itu. Cukup lama menunggu kawan-kawan PPMI DK Banjarmasin yang lain, akhirnya mereka datang kira-kira pukul 11.00. Kami berangkat 7 orang, ditemani 2 tour guide ”dadakan” yakni kawan Randi dan Rohmadi. Banyak hal yang ingin kami lakukan di Jogjakarta seharian ini, kami ingin memanjakan diri dengan mengunjungi Candi Prambanan, berjalan-jalan di Malioboro, Alun-alun Jogja, juga menikmati suasana Angkringan. Hal ini karena saya dan beberapa teman yang lain memang baru pertama kali ke Jogjakarta. Acara jalan-jalan keliling Jogja kami mulai dengan mengunjungi Candi Prambanan.

Perjalanan kami tempuh kurang lebih 30 menit dari kampus UAD menuju Candi Prambanan. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp. 30.000 dan diberikan kain untuk digunakan selama berkeliling candi, kami semua masuk ke areal Candi. Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang ini adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan

Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia

Saya sangat takjub melihat pemandangan yang ada di depan mata, jejeran candi beserta reruntuhannya sungguh mengesankan. Hal ini tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan diri disana, terlebih saya yang baru pertama kali ke Jogjakarta. Cukup lama kami habiskan waktu menikmati indahnya Candi Prambanan, hingga akhirnya kami beralih ke museum yang berada disebelah areal candi. Sempat berbelanja pernak-pernik untuk oleh-oleh sebentar, kemudian beristirahat sejenak di areal parkir sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya (Malioboro).

Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa obyek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret

Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para Seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang jalan ini.

Di Malioboro hal yang paling pertama kami lakukan adalah mencicipi kuliner khas Jogja, apalagi kalau bukan Gudeg. Gudeg  (dalam bahasa Jawa gudheg) adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Ada berbagai varian gudeg, antara lain Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang, Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer, Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih. Untuk masalah harga tidak usah khawatir, satu porsi gudeg ditambah es teh manis hanya Rp. 8.000 saja, murah bukan.

Setelah memuaskan lidah dengan cita rasa gudeg, kami melanjutkan acara jalan-jalan dengan jalan-jalan di Malioboro. Karena jalan Malioboro begitu luas dan panjang, kami berpencar untuk membeli oleh-oleh khas jogja yang ditawarkan di sepanjang jalan. Kebetulan saat itu kondisi keuangan sedang tidak sehat, tapi hasrat belanja saya kurang bersahabat. Tapi ternyata tidak seperti apa yang saya bayangkan, barang-barang yang ditawarkan disini harganya cukup terjangkau, dan jangan lupa keahlian menawar sangat dibutuhkan disini

Setelah lama berkeliling, akhirnya saya menemukan pedagang yang “pas” dengan saya, pas dengan kantong saya begitu juga pas dengan ukuran badan saya. Memang sedikit sulit mencari size (ukuran) pakaian untuk saya yang meiliki badan ala bule ini. Dua buah kaos dengan gambar Pelengkung Gading dan Sepeda onthel menjadi pilihan saya, ditambah dua kaos bertuliskan Jogja untuk oleh-oleh ibu dan adik di Bali. Harga untuk size big alias jumbo 50.000/pcs, sedangkan yang biasa 30.000-35.000/pcs,  tapi setelah dibantu tawar menawar dengan bahasa jawa oleh kawan Randi akhirnya dua kaos size jumbo itu saya bayar dengan harga 75.000, sedangkan untuk dua kaos Jogjanya saya bayar 50.000. Lumayan murah dibandingkan dengan harga barang di tempat asal saya Bali.

Tanpa terasa hari mulai gelap, hiruk pikuk di Malioboro membuat saya dan teman-teman lupa waktu. Namun bukannya sepi, Malioboro malah tambah ramai di malam hari, sungguh mengesankan. Belum puas mengunjungi Candi Prambanan dan jalan-jalan di malioboro, kami bergegas menuju Alun-alun Jogjakarta. Alun-Alun Kidul merupakan wilayah di belakang kompleks bangunan Kraton Yogyakarta yang bisa dijangkau dengan berjalan ke arah selatan dari Sentra Makanan Khas Gudeg Wijilan. Disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang, Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman (istirahat) para Dewa. Dan jelas kini sudah menjadi tempat ngleremke ati (menenangkan hati) bagi banyak orang.

Di Alun-alun ini kami mencoba atraksi yang dinamai Masangin, yaitu melewati jalan antara dua beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata ditutup kain hitam. Konon, jika orang mampu melewatinya dan tak serong atau menabrak maka permintaannya akan terkabul dan ia akan mendapat berkah tak terhingga. Tapi, jangan mencoba untuk mengintip, sebab jika dilakukan anda akan masuk ke dunia lain. Anda akan mendapati alun-alun dalam keadaan sepi dan sulit untuk kembali ke alam nyata lagi.Untuk mencobanya, anda cukup menyewa kain hitam seharga Rp 3.000,00. Kebetulan saat itu kami membawa kain hitam, jadi tidak perlu menyewa , bisa berhemat.

Satu persatu kami mencoba Masangin, alih-alih bisa melewati jalan diantara dua beringin, berjalan lurus saja tidak bisa. Sebagian dari kami ada yang berbelok arah, ada yang serong, bahkan saya menabrak orang yang juga melakukan Masangin ini. Dua percobaan saya gagal, akhirnya pada percobaan ketiga saya bisa melewatinya. Semoga memang benar apa yang dikatakan orang-orang, jika bisa melewatinya akan mendapatkan berkah. Astungkara.

Setelah semua mencoba Masangin, kami mencoba menaiki suatu mode transportasi yang di sewakan berupa sepeda atau becak yang sudah di modifikasi sedemikian rupa untuk bisa dinaiki 4-6 orang.Lebih menarik lagi alat tarnsportasi ini seluruh bodynya di hiasi dengan lampu selang beraneka ragam. Mungkin tujuannya untuk semakin menarik para pengunjung. Alat transportasi  ini di pakai untuk mengelilingi alun-alun selatan. Kami membayar 50.000 untuk tiga kali putaran. Cukup murah untuk berlima atau berenam.

Dengan sisa energi yang tersisa, berpacu dengan malam yang semakin larut dan dipenuhi bintang-bintang. Kami ingin kembali memuaskan lidah kita dengan kuliner khas jogja lainnya. Malam itu kami berkumpul di angkringan di depan kantor media cetak Kedaulatan Rakyat (KR) ditemani Sekjen PPMI DK Jogjakarta Agus ”Jarwo” Susanto bersama kawan-kawan PPMI DK Jogjakarta lainnya.

Di angkringan kita bisa bebas memilih tempat duduk di tempat yang disediakan. Jika ingin berbincang dengan pedagang, anda bisa duduk di dekat bakul atau anglo. Selain dapat bercerita dengan pedagang, juga akan mempermudah jika ingin tambah makanan dan minuman. Tetapi bila ingin lebih berakraban dengan teman, kita bisa duduk di tikar yang digelar memanjang di trotoar seberang jalan. Tak perlu khawatir tidak cukup, sebab panjang trotoar yang digelari tikar hampir 100 meter.

Disana kami menikmati hidangan malam khas Jogjakarta, nasi kucing. Nasi kucing (atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan "segÄ kucing") bukanlah suatu menu tertentu tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada warung angkringan. Dinamakan "nasi kucing" karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Nasi kucing adalah sebentuk nasi rames, dengan menu bermacam-macam: tempe kering, teri goreng, sambal goreng, babat, bandeng, usus, kepala atau cakar ayam serta sate telur puyuh. Harga satu bungkus nasi kucing sangat murah yakni Rp. 1.500, hal ini yang membuat nasi kucing sangat populer di kalangan mahasiswa

Ada satu lagi yang unik, kopi joss. Kopi Joss adalah kopi tubruk panas yang diberi arang membara. Begitu dimasukin arang maka kopi akan mengeluarkan suara josss yang kencang sehingga terciptalah nama kopi Joss itu. Minuman ini bisa ditemukan di semua angkringan-angkringan sudut kota Jogja. Malam itu saya habiskan malam dengan penuh suka cita bersama kawan-kawan, ditemani alunan gitar dan suara merdu dari musisi jalanan yang beraksi. Tempat wisata, adat budaya dan masyarakat Jogja sungguh istimewa, suatu saat nanti, saya (pasti) akan kembali kesini. (Gun)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting