Senin, 22 April 2013

Sejarah dan Refleksi Hari Buku Sedunia



World Book Day yang dirancang oleh UNESCO adalah sebuah perayaan buku dan literasi yang diadakan setiap tahun di seluruh dunia. Indonesia pertama kali melaksanakannya di tahun 2006 dengan prakarsa Forum Indonesia Membaca yang didukung oleh berbagai pihak, baik itu pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan masyarakat umum. Pada awalnya adalah bagian dari perayaan Hari Saint George di wilayah Katalonia sejak abad pertengahan dimana para pria memberikan mawar kepada kekasihnya. Namun sejak tahun 1923 para pedagang buku memengaruhi tradisi ini untuk menghormati Miguel de Cervantes, seorang pengarang yang meninggal dunia pada 23 April.

Hingga itu sejak tahun 1925 para perempuan memberikan sebuah buku sebagai pengganti mawar yang diterimanya. Pada masa itu lebih dari 400.000 buku terjual dan ditukarkan dengan 4 juta mawar. Pada tahun 1995, Konferensi Umum UNESCO di Paris memutuskan tanggal 23 April sebagai World Book Day berdasar keberadaan Festival Katalonia serta pada tanggal tersebut, Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia sedangkan Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejía Vallejo and Halldór Laxness dilahirkan. Walaupun pada kasus Shakespeare dan Cervantes ada sedikit perbedaan karena masing–masing meninggal dihitung dengan sistem kalender yang berbeda dimana pada masa itu Inggris masih mempergunakan sistem Kalender Julian sedangkan Katalonia mempergunakan sistem Kalender Gregorian. Perayaan ini merupakan bentuk penghargaan dan kemitraan antara pengarang, penerbit, distributor, organisasi perbukuan serta komunitas–komunitas yang semuanya bekerja sama mempromosikan buku dan literasi sebagai bentuk pengayaan diri dan meningkatkan nilai–nilai sosial budaya kemanusiaan.

Secara umum, tujuan diselenggarakannya World Book Day sebagai sebuah world event adalah untuk menyemangati masyarakat, terutama kalangan anak–anak untuk mengeksplorasi manfaat dan kesenangan yang bisa didapat dari buku dan membaca. Acara–acara yang mengangkat dunia literasi sudah diselenggarakan di Indonesia, diantaranya ada ‘Hari Buku Nasional’, ‘Hari Kunjungan Perpustakaan’ sampai berbagai pameran dan bazaar buku (book fair) di tingkat lokal maupun nasional. Seiring dengan adanya globalisasi informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, sudah saatnya kita melebarkan aktivitas kita dalam dunia perbukuan dengan ikut berpartisipasi melakukan perayaan buku berskala internasional agar lebih menggaungkan buku dan literasi di tengah masyarakat Indonesia.

Forum Indonesia Membaca (FIM), sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang berkonsentrasi di aktivitas literasi, berupaya membuka ruang partisipasi seluas–luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca. Setelah sukses dengan World Book Day yang diadakan pertama kalinya di Indonesia pada tahun 2006 di Plasa Depdiknas dan Perpustakaan Diknas, Senayan, Jakarta, dan banyaknya permintaan dari komunitas literasi, lembaga, penerbit buku dan masyarakat umum maka di tahun 2007, Forum Indonesia Membaca, dengan mengambil tema ‘Buku untuk Perubahan’, berusaha merealisasikan kembali pelaksanaan World Book Day di Indonesia menjadi sebuah tradisi festival yang tujuannya untuk merayakan buku dan literasi, dimana acara World Book Day membuka partisipasi masyarakat sebesar– besarnya dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya buku dan membaca, serta mengapresiasi dunia perbukuan itu sendiri, baik itu terlibat sebagai pembicara, pengisi acara, peserta, maupun sebagai pengunjung. Kegiatan selama penyelenggaraan World Book Day 2007 ini ditujukan untuk memunculkan wacana di masyarakat akan pentingnya buku, dunia membaca dan menulis sehingga muncul kesadaran di masyarakat untuk menggunakan literasi sebagai media perubahan dalam kehidupannya.

Refleksi Hari Buku Sedunia

Setiap tanggal 23 April diperingati sebagai hari buku sedunia. Hal ini memberi makna bahwa buku sedemikian penting bagi hidup dan kehidupan manusia.  Buku merupakan jantung hidup dan kehidupan manusia.  Buku adalah teman, sahabat dan fakta yang tak pernah berdusta. Ia menginformasikan apa adanya. Ia selalu setia menemani kita dalam memerlukan informasi, fakta dan data. Ia selalu memberikan informasi, inspirasi dan fakta yang selalu dapat membantu kita menemukan berbagai keperluan dan memecahkan berbagai persoalan yang kita hadapi.

Itulah buku ia merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Berbagai peradaban besar tumbuh dan berkembang tidak lain adalah pengaruh dari suatu buku. Buku mampu menggerakan instuisi, inspirasi dan kreativitas manusia untuk menembus batas-batas belenggu kehidupan.  Orang bisa saja fisiknya dijajah atau dipenjara, namun pikiran dan idenya yang tertuang dalam buku mampu menggerakkan perubahan besar.  Buku mampu menjadi medium silaturahim, medium transformasi dan jejaringan sosial yang kemudian mampu melahirkan sikap, komitmen dan gerakan untuk melakukan perubahan.

Begitulah pentingnya buku. Oleh karena itu, tidaklah heran jika buku Lembaran Kerja Siswa (LKS) Bang Maman dan istri simpanan diprotes oleh para orangtua. Karena isinya, selain tidak sesuai dengan tingkat dan pemahaman siswa, juga dikhawatirkan akan mempengaruhi cara pikir dan pandang siswa terhadap sesuatu atau apa yang dibacanya. Konsep atau ide yang dibaca atau dipahami salah oleh seseorang akan berakibat pada cara pandang dan aplikasinya terhadap konsep itupun salah.  Contohnya, teroris yang sering diidentikkan dengan Islam, maka sebagian besar orang Barat mengangab Islam adalah sumber teroris. Padahal, soal kekerasan semua agama memiliki potensi yang sama. Namun, karena pengaruh buku, informasi dan berita yang disiarkan secara terus menerus, kemudian mempengaruhi cara pandang sesorang terhadap apa yang dibacanya.

Demikian juga, pada masa orde Baru banyak buku dan pengarang yang dilarang terbit atau beredar, karena dikhawatirkan akan menimbulkan  ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat terhadap sesuatu kasus seperti kasus G 30 S PKI-misalnya. Hal ini dilakukan, karena informasi yang beredar akan menimbulkan salah persepsi yang kemudian melahirkan kegonjangan social yang berakibat pada disentegritas social, bahkan nasional. Demkianlah, betapa besarnya pengaruh buku terhadap sesuatu persoalan yang terjadi atau yang akan terjadi. Ia merupakan sumber infirasi bagi suatu perubahan dan peradaban.

Namun demikian, buku juga seringkali dianggab sesuatu yang kurang bermakna. Buku adalah sesuatu yang kurang mendapat tempat dalam hidup dan kehidupan manusia. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap dari sekian peralatan hidup lainya. Orang akan lebih tertarik membeli TV, DVD, Ladtop, Komputer, ketimbang membeli buku. Orangtua akan lebih suka membawa anaknya ke supermarket, Mall dan tempat rekreasi, ketimbang ke toko buku. Dalam perayaan ulang Tahun, jarang sekali orang memberikan hadiah dalam bentuk buku. Apalagi dalam kegiatan acara mantenan misalnya, orang yang membawa kado dalam bentuk buku dianggap kurang gaul atau dianggap tidak mengerti akan makna undangan yang dilayangkan.

Begitulah buku dalam kehidupan kita. Ia dianggap penting, namun perlakuannya kurang selaras dengan arti yang sebenarnya. Buku masih dianggap kebutuhan tersier, bukan kebutuhan primer. Hal ini bukan saja berlaku bagi orang awam.Namun juga berlaku bagi para guru , dosen  pelajar dan kaum birokrat itu sendiri. Penulis pernah melakukan survey terhadap penggunaan dana kesejahteraan guru yang diberikan pemerintah kepada para guru di Kabupaten Natuna.

Dalam survey itu, buku merupakan urutan terakhir, daftar barang atau hal yang akan dibeli. Padahal jelas buku sangat penting bagi seorang guru, untuk meningkatkan kompetensinya. Namun ia lebih mementingkan TV,  Kulkas, Handpon, kipas angin dan sejumlah peralatan yang bersifat konsumtif. Ini merupakan sikap yang kurang tepat jika dilihat dari profesi seorang guru. Mestinya, ia mementingkan buku, ketimbang yang lainnya. Para birokrat pun demikian, coba saja perhatikan cara pandang mereka ketika membicarakan anggaran tentang pustaka sekolah maupun pustaka umum. Dapat dipastikan bukan menjadi priorotas. Dan coba lihat di Kantor mereka,para SKPD sangat sulit kita menemukan sarana perpustakaan yang dapat menunjang kinerja mereka. Padahal mereka punya kewajiban untuk mengelola perputskaan khusus dilingkungan kerja mereka masing-masing.

Di kalangan pelajar lebih parah lagi. Mereka setiap detik, menit dan jam terus menerus melakukan SMS, nelpon dan Facebook melalui Handpon atau BB. Amat jarang mereka membeli apalagi membaca buku. Yang mereka baca adalah SMS yang sama sekali tidak menunjang proses belajar yang mereka hadapi. Para orangtua pun, akan belum merasa puas, jika anaknya tidak memiliki Handpon atau BB. Jarang para orangtua merasa kesal atau marah, jika anaknya tidak memiliki buku baru. Orangtua amat jarang membeli buku untuk anaknya, yang banyak dibeli adalah pakaian, atau mainan alat eliktronik. Demikianlah, terjadi kelirumologi terhadap buku dalam hidupan da kehidupan kita.

Buku sebagai teman, membaca panggilan hidup. Karenanya, tidak berlebihan jika dalam kita memperinngati atau merayakan hari Buku Sedunia tanggal 23 April ini kita berazam untuk menjadikan buku sebagai teman setia dan membaca sebagai panggilan hidup. Inilah makna yang harus kita tanamkan dalam hidup dan kehidupan kita, dalam suasana hari buku sedunia ini.  Yakni menjadikan buku sebagai teman dan membaca panggilan hidup.  Inilah tugas sejarah kita semua, yakni menempatkan buku sejajar dengan teman lainnya dan membaca merupakan bagian dari panggilan hidup kita. Semoga.

sumber :
http://pustakainfo.wordpress.com/2008/03/30/sejarah-hari-buku-sedunia-23-april/
http://www.haluankepri.com/opini-/28085-refleksi-hari-buku-sedunia.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting